Ramai Fenomena Cuci Darah di Kalangan Anak Indonesia, Ketua IDAI Soroti 5 Hal Penting



loading…

Fenomena cuci darah di kalangan anak-anak Indonesia semakin ramai diperbincangkan. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan orang tua dan profesional medis. Foto/Wiwie Heriyani

JAKARTA – Fenomena cuci darah di kalangan anak-anak Indonesia semakin ramai diperbincangkan. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan orang tua dan profesional medis.

Maraknya cuci darah di kalangan anak-anak Indonesia terjadi di sejumlah rumah sakit di Indonesia. Di antaranya adalah Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo hingga Rumah Sakit Hasan Sadikin RSHS Bandung.

Ketua Umum PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) menyoroti lima hal penting terkait fenomena ini. Fenomena ini menggarisbawahi perlunya perhatian lebih terhadap kesehatan ginjal anak dan pentingnya deteksi dini serta pengobatan yang tepat.

Berikut adalah beberapa hal penting terkait fenomena cuci darah di kalangan anak Indonesia menurut dr Piprim melalui wawancara khusus di program One on One di SINDOnews TV, Jumat (2/8/2024).

Ramai Fenomena Cuci Darah di Kalangan Anak Indonesia, Ketua IDAI Soroti 5 Hal Penting

1. Tidak Terjadi Peningkatan Kasus

Meski kasus cuci darah di kalangan anak belakangan ramai, namun dr Piprim memastikan, sejauh ini tidak ada peningkatan kasus penyakit gagal ginjal pada anak di Indonesia.

“Jadi kalau disebut terkait lonjakan kasus yang signifikan pada masalah ginjal anak ini, itu nggak. Karena pada faktanya, teman-teman dokter anak ginjal di daerah itu nggak melaporkan lonjakan kasus yang mendadak,” kata dr Piprim

Menurutnya, jumlah kasus gagal ginjal pada anak di Indonesia masih dalam kategori wajar. Hal itu lantaran, fenomena cuci darah di kalangan anak terjadi karena anak-anak tersebut kebanyakan merupakan pasien cuci darah dengan penyakit ginjal bawaan sejak lahir.

Sehingga, hal tersebut mengharuskan mereka untuk melakukan cuci darah secara berulang dan seumur hidup. “Jadi jumlah kasusnya itu masih wajar. Wajar dalam arti ya memang akan ada bayi atau anak yang memang mengalami kelainan bawaan ginjal pada saat dia lahir,” jelasnya.

“Nah ini kalau dikumpulkan dalam satu rumah sakit melalui cuci darah, dan cuci darahnya terus seumur hidup, kan jadi kumulatifnya banyak, terekspos lah,” sambungnya.

2. Gaya Hidup Tidak Sehat Masyarakat Indonesia

Alih-alih hanya fokus terhadap fenomena cuci darah yang sempat viral belakangan ini, dr Piprim, justru menyoroti gaya hidup masyarakat Indonesia yang dinilai masih buruk. Tidak terkecuali di kalangan anak-anak. Mulai dari pola makan, pola gerak, pola tidur, dan semua yang sangat berkaitan.

Menurutnya, hal itulah yang bisa memengaruhi peningkatan kasus gagal ginjal pada anak. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh IDAI, ditemukan anak-anak remaja usia 12-18 tahun berisiko mengalami kerusakan ginjal.

Bahkan, dari survey tersebut ditemukan fakta mencengangkan. Bahwa berdasarkan cek urine, satu dari lima anak remaja tersebut ternyata terdapat hematuria dan proteinuria alias darah dan protein dalam urine.

“Satu dari lima anak remaja itu dicek urinenya, ternyata terdapat hematuria dan proteinuria. Jadi ada darah dan protein dalam urine. Ini salah satu indikator awal kerusakan ginjal. Ini menunjukkan gaya hidup anak-anak kita usia 12-18 tahun ini sangat memprihatinkan,” paparnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *