Jakarta (ANTARA) – Kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah yang menyeret Hendry Lie, pendiri maskapai Sriwijaya Air sekaligus pemilik saham di PT. Tinindo Internusa, menjadi sorotan.
Perkara ini berkaitan dengan pelanggaran Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Berdasarkan pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung, Hendry Lie diduga melakukan tindak pidana korupsi demi kepentingan pribadi. Nilai kerugian negara akibat perbuatannya mencapai Rp1,05 triliun.
“Keuntungan yang diperoleh terdakwa Hendry Lie melalui PT. Tinindo Internusa setidaknya mencapai Rp1.059.577.589.19,” ungkap jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (30/1).
Sebagai seorang pengusaha yang dikenal mendirikan Sriwijaya Air, Hendry Lie kini tersandung kasus besar yang menimbulkan kerugian negara. Berikut ini adalah profilnya yang dirangkum dari berbagai sumber.
Baca juga: Kejagung dalami aliran dana Asabri ke petinggi Sriwijaya
Profil Hendry Lie
Hendry Lie dikenal sebagai salah satu pendiri maskapai Sriwijaya Air. Pria kelahiran Pangkal Pinang tahun 1965 ini awalnya berkecimpung di bisnis garmen sebelum akhirnya terjun ke dunia penerbangan. Bersama Chandra Lie dan Andy Halim, ia merintis Sriwijaya Air pada tahun 2002.
Sebagai kakak dari Chandra Lie, Andy Halim, dan Fandy Lingga, Hendry Lie membawa keluarganya terlibat dalam pendirian maskapai ini. Selain itu, beberapa sosok lain juga berperan dalam mengembangkan Sriwijaya Air, seperti Joko Widodo, Capt Kusnadi, Capt Adil W, Harwick L Gabriella, Supardi, dan Suwarsono.
Di bawah kepemimpinannya sebagai direktur, Sriwijaya Air berhasil bertahan dari ancaman kebangkrutan dan menjadi salah satu maskapai lokal yang cukup dikenal di Indonesia. Armada pertama mereka, Boeing 737-200, melayani rute domestik seperti Jakarta-Pangkal Pinang, Jakarta-Pontianak, dan Jakarta-Jambi.
Namun, di balik kesuksesan yang telah berlangsung lebih dari dua dekade, Sriwijaya Air mengalami kendala finansial dengan utang yang membengkak hingga Rp7,3 triliun.
Baca juga: Komisi III undang Jampidsus dalami hitung kerugian kasus timah Rp271 T
Kondisi ini diperburuk dengan keterlambatan pembayaran kepada para kreditur, sehingga perusahaan akhirnya mengajukan skema Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan mempertimbangkan untuk melantai di bursa saham melalui Initial Public Offering (IPO).
Selain mengelola Sriwijaya Air, Hendry Lie juga menjabat sebagai komisaris di PT Tinindo Internusa (TIN), sebuah perusahaan peleburan timah yang bermitra dengan PT Timah. Namun, dari tahun 2015 hingga 2022, ia diduga terlibat dalam bisnis timah ilegal melalui PT Tinindo Internusa.
Dengan cara mengumpulkan dan meleburkan bijih timah dari tambang ilegal, ia memanfaatkan jabatannya untuk memperlancar operasi tersebut. Bahkan, ia mendirikan perusahaan fiktif guna menutupi aktivitas ilegal ini.
Akibat tindakannya, negara mengalami kerugian hingga Rp300 triliun, sementara Hendry Lie sendiri disebut menerima keuntungan sebesar Rp1,05 triliun.
Ia pun tidak bekerja sendirian, melainkan berkolaborasi dengan 21 orang lainnya, termasuk seorang General Manager PT TIN berinisial RL. Saat ini, Kejaksaan Agung masih terus mendalami kasus ini guna memastikan hukuman yang setimpal bagi para tersangka.
Baca juga: Hendry Lie didakwa terima Rp1,06 triliun dalam kasus korupsi timah
Baca juga: Cek fakta, Harvey Moeis dijatuhi hukuman mati di Nusakambangan
Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025