Pesantren di tengah “perang narasi” era digital



Surabaya (ANTARA) – Sejatinya, pesantren adalah lembaga pendidikan keimanan, akhlak, ilmu, sekaligus pengamalannya. Kasus perundungan yang terjadi di sebuah pesantren di Mojo, Kota Kediri, Jawa Timur, pada awal Februari 2024, harus dilihat dengan kacamata jernih, sehingga kita tidak terjebak pada kondisi yang membuyarkan muruah dari pesantren.

Kasus perundungan di sebuah pesantren di Kediri yang belum mengantongi izin, yakni nomor statistik pesantren (NSP) dari Kemenag itu pun langsung saja menyedot perhatian masyarakat, sehingga menjadi ajang kita untuk memilih, apakah menggunakan kacamata hitam atau kacamata putih.

Tanpa pikiran dan hati jernih dalam memandang sesuatu, dunia digital itu tanpa disadari justru banyak framing daripada fakta. Framing adalah kesalahan (bukan kebenaran), tapi diulang-ulang atau diviralkan kemana-mana, sehingga kesalahan itu bisa dianggap benar. Contoh, guyonan/kelakar di pesantren, yang kadang juga sangat berlebihan, sehingga disimpulkan sebagai perundungan.

Di era serba cepat ini, apa yang muncul langsung di-viral-kan, termasuk kasus di Mojo, Kediri, yang pada pekan berikutnya dicari “bahan” lagi di pesantren itu atau pesantren lain, sehingga dalam sebulan bisa saja disimpulkan bahwa pesantren adalah “sarang” perundungan.

Begitulah alur framing di dunia maya, padahal humor/kelakar di pondok pesantren itu biasa atau terbiasa, untuk menempa mentalitas, atau sekadar “membunuh” sepi.

Apalagi, jumlah pondok pesantren dalam data Kementerian Agama (Kemenag) RI menunjukkan ada sekitar 41 ribu lembaga yang menampung 3,1 juta santri dan 276 ribu ustadz di seluruh Indonesia.

Itu cuma framing tentang humor, coba kalau framing tentang pendapat, misalnya pendapat ulama/ustadz X yang niatnya bukan jelek atau cuma humor, tapi akibat adanya framing akhirnya menjadikan citra ulama/ustadz/ning X itu pun jatuh. Begitulah dunia maya. Lebih gawat lagi, kalau tidak hati-hati, dunia digital juga menjebak generasi menjadi radikal, karena belajar agama di dunia digital tanpa guru.

“Perang” narasi

Menurut data FSGI, perundungan di lembaga pendidikan agama sangat kecil, sehingga siswa/santri yang ada pada lembaga pendidikan agama dan keagamaan relatif lebih aman dari tindakan tersebut.

Dalam konteks framing itulah, Asosiasi Pesantren NU yang tergabung dalam Rabithah Ma’ahidil Islamiyah (RMI) PWNU Jatim pun mengajak kalangan pesantren untuk memiliki kemampuan membangun pesan publik dan memenangkan “pertarungan” atau “perang” narasi di era digital.

Caranya, melalui kemitraan dengan kalangan media sebagai langkah strategis untuk menyesuaikan dengan logika dan kebutuhan masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dalam memberikan kritik dan komentar, khususnya melalui sosial media.

RMI PWNU Jatim menggagas kemitraan pesantren-media itu dalam diskusi RMI se-Jatim bersama media di Surabaya, Selasa (7/5).

Sebagai jurnalis santri, Hakim Jayli menyatakan siap membantu pesantren dalam perang narasi itu melalui kemitraan. Baginya, guyonan ala pesantren yang saling serang antarteman itu merupakan pendidikan mentalitas, tapi media yang tidak paham pesantren akan menilai ada perundungan, tentu perlu diluruskan. Pesan ini sekaligus mengingatkan dan mengajak masyarakat untuk selalu jernih dalam memandang sesuatu yang diperoleh dari dunia internet.

Kini, framing media yang menyasar dunia pesantren ada dua hal, yakni pelecehan seksual dan perundungan, padahal guyonan ala pesantren itu sudah biasa dan sudah ada sejak dulu, namun tujuannya semacam guyon saja untuk menguji mentalitas teman sekamar.

Meski demikian, kalangan pesantren disarankan untuk tidak perlu terlalu buru-buru memakai UU ITE untuk melaporkan media, melainkan cukup dengan sabar dalam memberi penjelasan dan menerima permohonan maaf, agar menarik apresiasi dan simpati dari kalangan yang berada di luar pesantren.

Hikmah dari framing adalah mendorong kalangan pesantren saat ini untuk mampu membaca data dan fenomena masyarakat kota hari ini yang kian religius, sehingga pesantren semakin dipercaya untuk mendidik anaknya, bahkan sebuah riset menyebut masyarakat NU sekarang juga sudah 60-65 persen masyarakat NU urban.

Jadi, kalangan pesantren agaknya harus mampu memahami bahwa masyarakat kota itu cenderung lebih reaktif, mudah melakukan komplain dan kritik terhadap apapun yang tidak sesuai dengan harapannya, termasuk tentang pesantren melalui media sosial.

Gayung bersambut, Ketua RMI PWNU Jatim KH M Iffatul Lathoif Zainuddin (Gus Thoif), berharap RMI dan pesantren lebih membuka diri bekerja sama dengan media (media NU) untuk mengoptimalkan media dalam menyusun narasi tentang substansi dan kelebihan pendidikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, (berciri khas keagamaan) sekaligus merespons sorotan publik.

Sorotan terhadap pesantren dalam kasus tertentu itu memang harus dijawab dengan jernih, karena kalau dibiarkan dan terjadi berulang (framing) bisa berakibat tidak baik bagi nama pesantren, sekaligus kemitraan dengan media itu dapat menjadi lahan dakwah digital. Harapannya, kemitraan serupa juga diadopsi di semua tingkatan atau lembaga pendidikan.

Era digital adalah era perang narasi, karena itu pesantren jangan diam saja agar tidak menjadi “bulan-bulanan” media digital, sebab dunia digital adalah dunia yang merombak struktur komunikasi antarmanusia dari komunikasi nyata menjadi komunikasi maya/digital, yang bila tidak diberi konten yang saleh (kesalehan digital) akan dapat mengalami framing yang viral.

Kasus perundungan di pesantren yang mencuat di media ini setidaknya mengandung dua pesan sekaligus, yakni pesantren harus ramah dan bersahabat dengan media, sedangkan masyarakat harus selalu menggunakan penyaring dalam mengonsumsi informasi dari internet. 

 

Copyright © ANTARA 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *