“Yang semakin memprihatinkan adalah candu judi online di kalangan polisi. Ketika Polri konon sibuk melakukan penindakan terhadap judi online, justru anggotanya sendiri main judi online, padahal itu pun pidana,” kata Reza dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Reza menyebutkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), apalagi pembunuhan, memang serius. Tetapi hitam putihnya pidana sudah sangat jelas. Siapa pelaku, siapa korban, terang benderang. Tetapi berbeda dengan kecanduan judi online yang terjadi di kalangan personel Polri.
Dalam kondisi ini, kata dia, anggaplah institusi Polri tidak bertanggungjawab langsung atas kelakuan personel. Tapi karena perilaku bermasalah, bahkan adiksi (kecanduan) itu tidak terpisahkan dari kerja perpolisian personel tersebut maka kualitas pelayanan, perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum si personel tentu berimbas.
“Pada titik itulah, secara tidak langsung, Polri sebagai lembaga tidak bisa berlepas tangan,” kata Reza.
Dalam kasus tindak pidana ini, kata Reza, patut diduga, personel Polri yang mengalami candu judi online tidak hanya satu orang.
“Konkretnya, berapa besar? Polri punya data estimasi,” kata Reza.
Dia mengatakan data tersebut dibutuhkan sebagai dasar bagi publik untuk menentukan apakah secara ironis, personel polisi justru termasuk kelompok yang rentan (judi online).
“Semakin banyak personel yang mengalami adiksi itu semakin besar pula penurunan kualitas pelayanan polisi bagi masyarakat,” kata Reza.
Baca juga: Menko PMK: Kasus Polwan bakar suami di Mojokerto level sangat parah
Baca juga: Pengamat: Pembinaan mental anggota Polri harus diperkuat
Baca juga: Kompolnas minta polwan pembakar suami diperiksa post partum depression
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024